OLEH : SUTANTO
NIM :201471120
Mata Pelajaran :FILSAFAT MANUSIA
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini adalah 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道教 Daojiao (agama Tao). Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan 道學 Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan „Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
dengan demikian Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme
Di dalam
literatur-literatur klasik Cina, kata Taoisme pertama kali ditemukan di dalam
tulisan-tulisan Shi Chi (catatan -catatan sejarah) yang ditulis oleh
Ssu-ma Ch’ien (145-867 BC), yakni empat ratus tahun setelah kematian Lao
Tzu.
Jika kita membaca
tentang Tao kita bisa merumuskan bahwa di dalam Tao terdapat ajaran “Etika
Hidup” dan juga ada ajaran “Ke-Tuhan-an” yang samar. Boleh dibilang Tao
merupakan hasil perenungan dan pemikiran dari pendiri agama tersebut yaitu Lao
Tzu. Tao ibarat perjalanan Lao Tzu dalam mencari Tuhan.
Disinilah perbedaan
mendasar antara agama Tao dan agama lainnya khususnya agama Semit. Agama Semit
merupakan agama yang mana Wahyu Ilahi diturunkan atas para nabi. Sedangkan Tao
lebih dari pencarian agama sejati oleh seseorang yang bernama Lao Tzu, dimana
petunjuk ketuhanan tidak diturunkan dari Tuhan tetapi didapat atas hasil
pencerahan, seperti yang Budha lakukan. Yang mana bisa kita simpulkan bahwa
jika kita bersungguh-sungguh mencari Tuhan dengan perenungan akal maka pada
akhir pemikiran apa yang kita dapatkan akan sama dengan apa yang Tuhan ajarkan.
Lao Tzu dalam perenungan
dan pemikirannya menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua
unsur yang saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling
tergantung satu sama lain. “Sebab Akibat”
Dalam Metafisika
Taoisme, Lao Tzu yang merupakan pendiri Tao menganggap bahwa Tao adalah “sumber
umum bagi seluruh alam semesta”. Tao sebagai “asal usul yang unik dari dunia”.
Lao Tzu secara eksplisit mengatakan “ Tao menghasilkan yang satu, yang satu
menghasilkan yang dua, yang dua menghasilkan yang tiga dan yang tiga
menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya.
Yang Satu (The one),
menghasilkan yang dua dimana yang dua ini meliputi sisi feminin dan maskulin
(Yin & Yang/ Positif & Negatif). Yang tiga merupakan kesatuan antar Yin
dan Yang. Dan dari yang tiga (Yin & Yang) menghasilkan sepuluh ribu hal
lainnya yang mana dari yang tiga inilah merupakan asal mula alam semesta
menurut versi Taoisme.
Lao Tzu sangat yakin,
bahwa Tao bersifat universal. Segala sesuatu berasal dari Tao, dan merupakan
pengembangan dari Tao itu sendiri. Tao, dengan demikian, juga merupakan proses
yang bersifat universal dan prinsip tertinggi. Ini adalah ontologi yang paling
mendasar dari Taoisme.
Tao juga memiliki sifat
yang misterius. Lao Tzu menulis “Kita memandang Tao”, “tetapi tidak melihatnya…
kita mendengar Tao tetapi tidak mendengarkannya…Kita menyentuhnya tetapi tidak
menemukannya… Bergerak ke atas, tetapi tidak terang, dan bergerak rendah ke
bawah, tetapi tidak gelap. Tidak terbatas… dan tidak bisa diberikan nama
apapun.“ Tao tidaklah bisa dimengerti dengan akal budi dan panca indera
manusia, tetapi Tao itu adalah nyata adanya (real being). Tao berada di
level yang melampaui pengetahuan biasa yang diperoleh melalui intelek
manusia.
Dari paparan diatas kita
peroleh :
- Yang Satu (The One) = Tao
- Yang Dua (Yin & Yang) = Firman
- Yang Tiga (Kesatuan Yin & Yang) = awal alam semesta
- Segala sesuatu berasal dari Tao
- Tao tak bisa dipahami (tak ada yang setara) tetapi Tao ada
Jika kita perhatikan 5
paparan diatas, maka bisa kita baca bahwa itu merupakan Konsep Ketuhanan hakiki
yang dimiliki oleh setiap agama besar.
Seperti telah dijelaskan
pada awal artikel bahwa Tao merupakan cara Lao Tzu dalam menemukan Tuhan. Tao
dapatlah diketahui melalui intuisi, dengan pengajaran dan pembelajaran dari
hari ke hari. Untuk menyadari keberadaan Tao, orang haruslah bergerak melampaui
kemampuan kognitif mereka. Pengenalan atas Tao membutuhkan lebih dari sekedar
„ketrampilan kognitif biasa yang dimiliki oleh orang pada umumnya. Sehingga
kita bisa melihat Surga dalam hidup di dunia.
Meski begitu ada
perbedaan mendasar mengenai Konsep Tao ini. Lao Tzu mengatakan :
- Tao bergerak secara alami dan spontan.
- Tao tidak memiliki kehendak ataupun tujuan.
- “Manusia”, demikian Lao Tzu, “mendapatkan modelnya dari bumi, bumi dari surga, surga dari Tao, dan Tao dari spontanitas.
- Tao “menyelesaikan tugasnya, tetapi tidak mengklaim kredit darinya. Tao memberikan pakaian dan makanan kepada semua hal tetapi tidak mengklaim menjadi penguasa atasnya.
- Tao selalu bergerak tanpa keinginan…
- Segala sesuatu datang kepadanya dan Tao tidak menguasainya;”
- Tao bergerak secara alami. Akan tetapi, Tao bukanlah seperti Tuhan yang menciptakan dunia dengan tujuan tertentu.
Dari 7 paparan diatas
tampak jelas perbedaan antara ajaran Tao dan ajaran agama Semit dan Vedic.
Ajaran Tao memandang Tuhan (Tao) sebagai sesuatu yang spontanitas, apa adanya
tanpa keinginan sesuatu melainkan apa yang terjadi dengan sendirinya. Sedangkan
dalam agama Semit dan Vedic Tuhan (Tao) sebagai yang Maha Menguasai dan Maha
Berkehendak. Dari sini tampak jelas sekali bahwa Tao merupakan hasil pemikiran
dan bukannya wahyu Tuhan.
Di dalam Konfusianisme
oleh Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) , Tao adalah prinsip umum yang mengatur
moralitas , sementara Te adalah keutamaan individual. Akan tetapi, bagi
Lao Tzu, Tao adalah realitas yang paling utama sekaligus prinsip umum dari alam
semesta. Sementara, Te adalah partikularisasi dari Tao yang terwujud
dalam diri seseorang, ketika ia hidup sesuai dengan Tao. Te adalah kekuatan
baik dari luar atau dalam Tao yang menyelimuti segenap aspek di alam raya ini.
Jadi Te pada hakikatnya identik dengan Religiusitas (yang bersifat ilahi) dalam
sesuatu baik manusia atau makhluk lainnya.
“Untuk memperoleh
sesuatu”, demikian Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama
memberi.”Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus pertama-tama memulai dengan
yang berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan demikian, esensi dari
pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan dari titik yang secara
diametral bertentangan dengan tujuan itu.” Konsep ini hampir identik dengan
Konsep agam Budha bahwa untuk mencapai Nibbana maka diperlukan nafsu.
Tao
memiliki beberapa konsep, diantaranya :
Wu Wei = Kelembutan sebagai tujuan utama, dimana
kekerasan hidup ini dijalani dengan penuh kelembutan. Hidup mengalir saja tanpa
dibentuk hukum atau aturan. Sebagai bentuk pasrah terhadap hidup yang dijalani.
Wu Wei lebih bersifat Filsafat Tao.
Yu Wei = Tindakan, bahwa hidup perlu aturan dan hukum.
Disini Yu Wei lebih mendekati sebagai Agama Tao
Tzu Jan = Spontanitas. Bahwa hidup ini spontan
(alami).Kepercayaan bahwa alam semesta dan kehidupan sosial akan berkembang
secara spontan”, demikian tulis Xiaogan, “adalah fondasi dari teori etika wu-wei,
sekaligus fondasi dari filsafat Tao.
Dari ketiga Konsep Tao,
yang paling utama adalah Wu Wei. Wu-wei sangat menekankan nilai-nilai
spesifik, seperti pasivitas, sikap mengalah, dan ketenangan. Menurut Lao Tzu,
nilai-nilai ini sangatlah penting, terutama bagi orang-orang yang lemah dan
tidak beruntung di dalam hidupnya. Dengan menerapkan wu-wei di dalam
hidupnya, orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan
kelembutannya. Inilah keuntungan dari sikap wu-wei. “Hal yang paling
lembut di dunia”, demikian Lao Tzu, “dapat melampaui hal yang paling keras di
dunia… melalui inilah saya mengetahui keuntungan untuk tidak mengambil tindakan
apapun.” Itulah mengapa dalam agama Tao, Hindhu atau Budha para pemimpin
agamanya lebih individualistik dan tidak terlalu campur tangan dalam masalah
sosial dan masyarakat. Hal ini juga dapat kita temukan dalam ajaran Kristen di
Bible sebagai berikut :
“Tetapi Aku berkata
kepadamu : Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu…Tetapi
Aku berkata kepadamu : Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu,” (Matius 5:39-44).
Tetapi pada kenyataannya
Wu Wei dan Yu Wei memang tidak bisa berdiri sendiri. Kita tidak bisa melulu
mengalah, tetapi juga harus membela diri. Keduanya saling menyatu, seperti
halnya konsep Islam diatas. Lao Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada
jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Berpendapat
bahwa masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas,
hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat
menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak
memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama
Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang
tulus kepada orang tua mereka sebagai prinsip dasar. Sedangkan kita ketahui yang
namanya Penguasa selalu identik dengan Hukum dan Aturan.
Konfusianisme merupakan
konsep hidup yang hampir mirip dengan Islam dimana Wu Wei dan Yu Wei saling
berhubungan. Dimana ada aturan yang tegas didalam sikap lemah lembut kia kepada
orang-orang yang melanggar aturan dan bersalah. Ajaran utama konfusianisme
adalah “yen” dan “li”. Yen secara umum diartikan sebagai
cinta, atau lebih luas lagi keramahtamahan. Sedangkan li dilukiskan
sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama dan
sopan santun. Nilai-nilai lainnya dalam ajaran Konfusius adalah kebajikan dan
kebenaran.
”K’ou Ch’ien Chih,
seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang
haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam
mengatur dunia. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Wu Wei dan Yu Wei tidak bisa
berdiri Sendiri.
Pada prinsipnya Tao
lebih condong ke konsep “mengalah” dan Konfusius lebih condong ke konsep
penegakan “hukum dan aturan”.